2 Juni 2011

Mana yang Lebih Utama, Miskin atau Kaya?

Mana yang Lebih Utama, Miskin atau Kaya?

Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang semua nikmat berasal dari-Nya. Dialah yang melapangkan rizki dan membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki, tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Shalawat dan salam kepada semoga terlimpah kepada suri teladan kita, Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para sahabatnya.
Setiap Rasul yang Allah utus ke suatu kaum untuk memberikan peringatan atas penyimpangan mereka, selalu mendapatkan penentangan. Dan seringnya, penentangan itu muncul dari kalangan elit yang memiliki kedudukan dan harta. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya”.” (QS. Saba’: 34)
Harta benda dan kekayaan yang mereka miliki menjadikan mereka sombong. Sehingga para rasul mereka hinakan dan kebenaran mereka dustakan. Bahkan dengan kekayaan itu, mereka menjadikan sebagai standar kebenaran. Sehingga mereka menyangka bahwa tak mungkin Dzat yang telah memberikan semua kekayaan ini di dunia akan menyiksa mereka di akhriat.
وَقَالُوا نَحْنُ أَكْثَرُ أَمْوَالا وَأَوْلادًا وَمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِينَ
Dan mereka berkata: “Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diadzab”.” (QS. Saba’: 35)
Syaikh Abdurrahman al-Sa’di berkata tentang ucapan mereka, “dan kami sekali-kali tidak akan diadzab”: “Jika kami dibangkitkan, maka Dzat yang telah memberikan harta dan anak kepada kami di dunia, pasti akan memberikan yang lebih banyak dari itu kepada kami di akhirat dan Dia tidak akan menyiksa kami.”
Kemudian Allah menjawab celotehan mereka itu, bahwa lapang dan sempitnya rizki, kaya dan miskin bukan menjadi tanda klaim mereka. Karena rizki itu di bawah masyi’ah (kehendak) Allah, jika Dia berkehendak maka akan melapangkannya untuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan jika berkehendak lain, maka akan membatasinya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya), akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.”(QS. Saba’: 36)
Sesungguhnya banyaknya harta dan keturunan (di antaranya: para pendukung) bukan ukuran kebenaran. Harta dan kekayaan bukan yang akan mendekatkan diri mereka kepada Allah dan menyebabkan masuk surga. Sesungguhnya yang bisa menjadikan mereka dekat dengan Allah, dimasukkan ke surga dan diselamatkan dari nereka, adalah iman dan amal shalih.
وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ آَمِنُونَ
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikit pun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).” (QS. Saba’: 37)
Mana yang Lebih Utama, Miskin atau Kaya?
Sesungguhnya kaya-miskin merupakan ketentuan Allah. Dia melapangkan rizki kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Begitu juga sebaliknya, menyempitkan rizki dan membatasinya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia sengaja membuat perbedaan itu dengan hikmah yang Dia ketahui.
Allah Ta’ala berfirman,
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ
Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS. Al-An’am: 165)
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain.” (QS. Al-zukhruf: 32)
Ibnu Hazm al-Andulisy dalam kitabnya, al-Ushul wa al-Furu’ (1/108) menyinggung tentang kaya dan miskin, mana yang lebih utama?.
Menurut beliau, bahwa kaya dan miskin tidak menentukan kemuliaan. Kemuliaan orang kaya dan orang miskin ditentukan oleh amal mereka. Jika amal keduanya sama, maka kemuliaannya pun juga sama. Jika yang kaya lebih banyak beramalnya, maka ia lebih mulia dari orang miskin, begitu juga sebaliknya.
Kemudian beliau menjelaskan tentang hadits tentang orang-orang fakir 40 tahun lebih dulu masuk surga dibandingkan dengan orang kaya, bahwa secara umum para fuqara’ muhajirin lebih dahulu masuk surga daripada orang kaya mereka. Karena orang-orang miskin muhajirin lebih banyak amal shalihnya dibandingkan dengan orang kaya mereka.
Memang benar, dengan menjadi kaya kita bisa berperan lebih untuk dien ini dan bisa menjalankan syariatnya dengan lebih lengkap dan sempurna. Dengannya, kita bisa mendapat limpahan pahala yang tak bisa diraih oleh orang-orang fakir dan miskin.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, orang-orang miskin dari kalangan Muhajirin datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengadukan kemiskinannya. Mereka berkata, “Orang-orang kaya pergi dengan membawa kedudukan yang tinggi dan kenikmatan abadi. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa melaksanakan haji, umrah, berjihad, dan bershadaqah.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang dengannya kalian bisa menyusul orang yang telah mendahului kalian dan jauh meninggalkan orang yang datang sesudah kalian. Tak seorangpun yang lebih mulia dari kalian kecuali ia melakukan seperti yang kalian lakukan?”
Mereka menjawab, “Mau, wahai Rasulallah.” Beliau bersabda, “Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir tiga pulah tiga kali setiap selesai shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, “Kaum Fuqara’ Muhajirin datang kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata, ‘Saudara-saudara kami yang kaya mendengar apa yang telah kami kerjakan, lalu mereka juga melakukan amalan serupa?’.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca firman Allah,
ذَلِكَ فَضْلُ الله يُؤتِيهِ مَنْ يَشَاءُ
Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun di sisi lain, banyak ayat yang menyebutkan tentang bahaya dunia. Banyak orang yang tergelincir karenanya. Oleh sebab itu Allah sering sekali mengingatkan agar jangan sampai terpedaya dengannya.
فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah.” (QS. Luqman: 33)
Imam al-Bukhari dalam Shahihnya membuat bab “Al-Muktsiruun Hum al-Muqilluun” (Orang-orang yang banyak harta adalah mereka yang akan miskin pahala pada hari kiamat). Lalu beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?” (QS. Huud: 15-16)
Lalu disebutkan sebuah hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
إِنَّ الْمُكْثِرِينَ هُمْ الْمُقِلُّونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا مَنْ أَعْطَاهُ اللَّهُ خَيْرًا فَنَفَحَ فِيهِ يَمِينَهُ وَشِمَالَهُ وَبَيْنَ يَدَيْهِ وَوَرَاءَهُ وَعَمِلَ فِيهِ خَيْرًا
Sesungguhnya orang yang banyak harta adalah yang miskin pahala pada hari kiamat kecuali orang yang Allah berikan kebaikan (harta) lalu ia membagikannya ke kanan, kiri, ke arah depan dan belakangnya, serta berbuat yang baik dengannya.” (HR. Bukhari dan Musim) hanya saja orang seperti ini jumlahnya sedikit.
Menurut Abi Dzar, maksud banyak harta dan miskin pahala akhirat berlaku bagi orang yang memiliki banyak harta namun tidak menjalankan pengecualian yang disebutkan sesudahnya, yaitu infaq. (Lihat: Fathul Baari: 11/299)
Maka siapa yang kaya lalu dia gemar berinfak, maka kaya lebih baik daripada miskin. Sebaliknya, siapa yang kalau kaya menjadi pelit dan bakhil, maka miskin lebih baik daripada kaya. (Disarikan dari perkataan al-Qadhi ‘Iyadh yang dinukil dalam Fathul Baari: 11/305)
Maka siapa yang kaya lalu dia gemar berinfak, maka kaya lebih baik daripada miskin. Sebaliknya, siapa yang kalau kaya menjadi pelit dan bakhil, maka miskin lebih baik daripada kaya.
Dan berinfak ini lebih utama dikeluarkan dalam kondisi sehat, memiliki banyak rencana, berharap hidup lebih lama, berangan-angan jadi hartawan, dan takut miskin. Bahkan berinfak dalam keadaan ini lebih utama daripada saat mendekati ajal.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang shadaqah yang paling besar pahalanya. Lalu beliau menjawab,
أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى
Yaitu engkau bershadaqah (infak) pada saat sehat, kikir, takut miskin, dan kamu berangan-angan untuk menjadi hartawan yang kaya raya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, kebanyakan orang kaya bakhil mengeluarkan hartanya saat dia sehat dan takut miskin. Maka siapa yang melawan syetannya dan lebih mengutamakan kehidupan akhriat, yaitu dengan tetap berinfak, sungguh dia akan beruntung. Sebaliknya, siapa yang bakhil sehingga enggan berinfak, tidak mengeluarkan zakat, tidak menunaikan wasiat, menutup mata dari orang susah dan peminta-minta, maka ia akan sengsara dan miskin pahala saat harta dan kekayaan tidak lagi berguna.
kebanyakan orang kaya bakhil mengeluarkan hartanya saat dia sehat dan takut miskin.
Maka siapa yang melawan syetannya dan lebih mengutamakan kehidupan akhriat, yaitu dengan tetap berinfak, sungguh dia akan beruntung.
Penutup
Sebenarnya dengan kaya kita bisa meraih pahala yang lebih banyak. Bahkan dengan kekayaan, kita bisa menyokong dan menegakkan perjuangan. Contoh nyatanya, Ustman bin Affan mendapat jaminan surga dari Nabishallallahu ‘alaihi wasallam melalui harta yang dimilikinya. Yaitu saat dia mewaqafkan sumur Ruumah dan menginfakkan 300 ekor unta dan seribu Dinar pada perang Khandak. (HR. Bukhari, Bab: Manqib Utsman bin Affan)
Masih riwayat lain, bahwa orang yang meninfakkan dengan sepasang hartanya dipersilahkan masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki. Setiap penjaga pintu surga memanggil dan memprsilahkan ia masuk dari pintu tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim) Maka berusahalah untuk mencari karunia Allah dari harta benda dnegan sungguh-sungguh agar bisa beramal lebih banyak dalam Islam.
Hanya saja kalau kaya jangan sampai tertipu dengan hartanya sehingga berbangga diri dan sombong, lupa akhirat dan pelit berinfak. Maka kalau begitu, kaya adalah buruk baginya. Dan kebanyakan orang kaya seperti ini. “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba’: 13)
‘Ala Kulli hal, kaya atau miskin bukan ukuran baik dan mulia. Kemuliaan ditentukan oleh iman dan takwa, yaitu dengan bersyukur saat menjadi kaya dan bersabar saat diuji miskin. Wallahu Ta’ala a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar